Monday, August 13, 2012

Perbedaan Bahasa Melayu dengan Bahasa Indonesia


Membuka halaman Koran berbahasa melayu, seringkali saya memperhatikan bahasa yang digunakan untuk ”iklan ucapan terima kasih” 1 halaman penuh, kadang lebih dari 1 halaman. Kalau selesai perayaan hari-hari besar biasanya koran memasang iklan tsb untuk Raja maupun pejabat Negara yang menghadiri perayaan tsb. Seperti setelah perayaan Imlek di Melaka baru2 ini. Ditulis seperti ini :
Daulat Tuanku Merafak Sembah
Menjunjung Kasih & Setinggi-tinggi penghargaan
(kemudian foto Raja dan Permaisurinya atau Pejabat Negara) dibawahnya akan tertulis nama lengkap dengan segala gelar yang disandangnya. Kadang bisa menghabiskan 1 paragraf panjang. Saya yakin tak seorangpun hapal tanpa melihat text atau file.
Setelah itu tulisannya :
Berkenan Mencemar Duli
Melawat Negeri Melaka Bersejarah
pada 23-24 Februari 2007.
Kemudian dibawahnya adalah pemasang iklan tsb. Tertulis :
Sembah Takzim daripada :
Kerajaan dan Rakyat Negeri Melaka Bersejarah
dan nama Gubernurnya.
Kata “berkenan mencemar” tentunya akan sangat berbeda makna kalau kita memandangnya dari Bahasa kita. Perbedaan makna dalam bahasa melayu dan indonesia ini banyak menjadi salah faham dalam pergaulan sehari-hari. Mungkin sudah jadi rahasia umum kalau "di jemput” oleh orang Malaysia jangan Ge eR, trus nungguin bakal ada kendaraan yang datang menjemput kita. Makna jemput = undang. Di jalan saya sering membaca sign board yang menulis “Peduli Paduka”. Welah… di Indonesia kita peduli dengan wong cilik kok ini malah peduli sama Rajanya. Saya sempat tersinggung saat teman saya bilang anak saya "comel". Makna comel dalam bahasa kita kan konotasinya rada negatif, artinya orang yang mulutnya bawel, atau ingat gak dulu ada filem horor judulnya "Si Comel". Padahal di Malaysia artinya cantik.
Kalau menghadiri acara yang dihadiri Raja atau di Kerajaan, maka bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa “Melayu Tinggi” (seperti dalam adegan drama Hang Tuah atau Kerajaan Melayu. Ini cuma istilah saya). Banyak sekali kata-kata seperti : Ampun Tuanku, Patik, Sembah, Sabda, Beta. Harus hati-hati menggunakan kata2 tsb, karena beberapa kata hanya boleh diucapkan oleh raja. Misalnya “Beta”, kalau yang lain mau menyebut saya, maka mesti pakai kata “Patik”. Waktu awal2 dulu saya sering tersenyum2 sama suami kalau menghadiri jamuan2 seperti ini.
Saya pernah mengikuti satu seminar yang diselenggarakan oleh Protokol Istana. Isinya “iklan buku” tentang kode etik menulis gelar keluarga dan kerabat Raja yang telah diterbitkan. Ternyata betapa memusingkannya karena semua anak dan keturunannya memiliki gelar masing-masing sesuai dengan urutan kelahiran. Kalau di Bali misalnya cukup dengan menyebut : Wayan, Putu, dan sebagainya. Jadi masih sederhana dan mudah untuk mengingatnya. Di Malaysia, disamping itu ada gelar2 yang juga harus menempel pada namanya apabila seseorang menerima penghargaan dari berbagai negeri yang ada, belum lagi gelar yang dibawa dari silsilah keluarganya. Kenapa mereka mengundang para Isteri Diplomat untuk mengetahuinya? Karena menyangkut soal surat menyurat dan “Sambutan” yang akan dibacakan saat acara resepsi, dinner dan sebagainya. Untuk menulis undangan saja sudah merepotkan salah sedikit menulis “gelar” undangan kembali, dan mesti dikirim ulang begitulah birokrasi yang amat bertele-tele. Dalam seminar tsb juga kita diajarkan bersikap layaknya Rakyat Malaysia memperlakukan Raja mereka. Dengan cara menyembah, (mengangkat kedua tangan sampai di dahi), tidak menatap Raja, tidak boleh membelakangi Raja, menekuk kaki ketika bersalaman, berjalan mundur setelah bersalaman, maksudnya supaya engga membelakangi. Kalau pinjam istilah remaja masa kini, “Hari gini masih Feodal… udah engga jaman lageee”. Rasanya didalam pergaulan internasionalpun kita mengetahui etika-etikanya. Jadi janganlah terlalu memaksakan budaya sendiri kepada orang lain. Hal lain yang bikin saya rada engga betah berada diruang seminar adalah karena si pembicara selalu membandingkan cara berpakaian kebaya orang Malaysia dan Indonesia. Banyak pernyataan etika berpakaian “lucu” yang diungkapkannya yang sebetulnya kelihatan sekali sipembicara kurang menpelajari budaya Indonesia dari setiap daerahnya.

No comments: